Generasi alay seakan menjadi fenomena bagi sebagian besar kalangan anak remaja di Indonesia. Benarkah tren ini berekses negatif atau hanya letupan jiwa anak muda yang tengah mencari identitas diri? “MUPHS akkoh 9a b5 dt9 n3h 4b5 sbX s3cH.”
Begitulah sebuah pesan SMS yang tertera di layar saya , yang kurang lebih bisa diartikan dengan “Maaf aku engga bisa datang abis sibuk sih”.
Terkesan janggal dan aneh memang saat membaca pesan tersebut, namun memang itulah yang dinginkan oleh para “penganut” alay, kependekan dari anak lebay.
Beberapa tahun belakangan, muncul sebutan alay yang marak dipergunjingkan oleh banyak orang. Ada yang menyukainya, namun tidak sedikit yang mencercanya.
Ciri-ciri utama fenomena alay ini memang terletak pada penggunaan bahasanya. Tidak ada standar yang baku ataupun buku panduan khusus untuk mempelajarinya. Semua serba “suka-suka”.
“Bahasa pergaulan pada umumnya digunakan untuk kalangan tertentu. Apalagi, bahasa memang berasal dari kesepakatan sekelompok orang yang menggunakannya.
Bisa dikatakan terbentuk dengan sendirinya dan menyebar secara meluas melalui pergaulan sehari-hari,” ungkap Widyaningsih, sosiolog dari Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta.
Ia juga menuturkan usia remaja atau yang kerap dikenal dengan sebutan anak baru gede (ABG) penuh dengan gejolak dan ingin mencoba ini-itu.
Lingkunganlah yang menjadi faktor utama timbulnya berbagai macam gaya pergaulan. Alay salah satunya. “Faktor alay sendiri jarang ditemui di pusat kota itu sendiri, dan kebanyakan terjadi di pinggiran kota.
Kebanyakan dari mereka memersepsikan dan menangkap gaya hidup yang terjadi di kota besar, tapi tidak dicerna lebih mendalam.
Meski memiliki komunitasnya sendiri, mereka tetap bisa bergaul dengan yang lainnya walau tidak seklop dengan yang mereka anggap alay juga,” ungkapnya.
Pada dasarnya alay merupakan gejala normal bagi sebagian remaja yang cenderung ingin mengetahui hal-hal yang baru dan unik.
Penyebaran salah satu gaya pergaulan remaja ini, ungkap Widya, juga disebabkan oleh faktor psikologis remaja, yakni rasa ingin tahu yang tergolong cukup besar. “Kebanyakan karena ikut-ikutan saja.
Apalagi sekarang zaman serbacanggih dan berhubungan dengan teknologi. Yang awalnya tidak tahu sama sekali jadi terbawa.
Sifat alay ini termasuk sifat yang terkelompok. Jika tidak sama alay-nya dengan mereka, tentu akan kesulitan untuk berbaur,” paparnya.
Muncul dengan Sendirinya Sifat ataupun perilaku yang timbul dari pergaulan ini cukup beragam. Terkadang, jika diamati secara saksama, akan terkesan lucu dan aneh.
Generasi ini lebih kentara dalam bahasa tulis karena kemunculannya dipicu oleh penggunaan komputer, Internet, dan telepon seluler dengan SMS-nya.
Tidak jarang bahasa yang mereka gunakan membuat “sakit mata” karena pemakaian kata yang tidak wajar. Disebut demikian dikarenakan penggunaan huruf kapital, angka, dan karakter tidak beraturan dan tidak sesuai dengan kaidah yang berlaku.
Bahasa ini muncul sejak Internet booming. Berbagai jejaring sosial seperti Friendster dan Facebook menjadi awal mulanya. Mereka menggali tulisan dan mengutak-atiknya.
Ditambah lagi dengan mudahnya meng-update status di Facebook dari telepon genggam. Yang paling mencolok adalah pencampuran angka, huruf, dan tanda baca.
Salah satu contohnya “tulisan” menjadi “tUl!s4N”. Begitu pula dengan penggunaan kosakata yang “suka-suka”. Sebut saja “maaf” menjadi “maav” atau ”muphz”, “aku” menjadi “aqyu”, hingga “lucu” menjadi “lutchuw” atau dibalik menjadi “uchul”.
Lintang Nurdinisari, salah seorang siswa kelas tiga SMU 14 Bogor, mengungkapkan keberadaan anak-anak alay tidak hanya berupa tulisan, namun merambah ke foto-foto “narsis” yang dianggap berlebihan.
“Seperti foto yang serba close-up, jari yang menunjuk angka satu ditempelkan ke pipi, sampai jumlah foto yang sampai ratusan yang isinya cuman dia-dia doang. Belum lagi gaya rambut, pakaian, layout Friendster dan Facebook yang dianggap norak.
Pokoknya semua serba lebay (berlebihan) deh,” paparnya. Meski banyak yang menganut gaya alay ini, tidak sedikit pula yang kontra. Dalam beberapa situs jejaring sosial, berbagai macam gaya hingga tingkah laku para alay kerap dibahas.
Bahkan banyak di antaranya tidak setuju dan menentangnya, seperti yang ditujukan pada Ophi A Bubu, seorang siswi SMA dari Banyuwangi, Jawa Timur.
Ophi tiba-tiba menjadi terkenal di dunia maya akibat berbagai posting di Facebook yang menurut sebagian orang norak.
Namanya disebut di berbagai forum hingga ruang chat. Bukan karena isi tulisan-tulisannya yang hebat, tetapi karena huruf-hurufnya yang dicampur aduk dan membuat orang terheran-heran. Dalam sekejap Ophi menjadi terkenal gara-gara membuat tulisan makin sulit dibaca.
Meski demikian, tulisannya menarik perhatian banyak orang dan menampilkannya di forum dan blog. Semua ini menjadi lahan bagi mereka yang suka meremehkan dan mengolok-olok tulisannya.
Banyak dari mereka yang menghinanya dengan menulis kata-kata buruk dan menamakannya “The Queen of Alay” hingga dengan terpaksa Ophi pun harus menonaktifkan akun Facebook-nya.
Seorang psikolog dari Universitas Indonesia, Arya Verdi Ramadhani, meyakini bahwa tulisan Ophi dan kawan-kawan muncul mengikuti tren pada bahasa SMS dan instant messaging seperti huruf “E” diganti dengan “3” dan “G” dengan “9”.
Homofon juga tidak luput digunakan, seperti “gr8” berarti “great”. “Fenomena alay muncul kirakira satu atau dua tahun yang lalu.
Ditambah dengan adanya jejaring sosial yang memfasilitasi orangorang untuk mengekspresikan diri mereka. Kombinasi tren ini memunculkan fenomena alay dan menjadi bahan pembicaraan yang makin meluas,” kata Arya.
Ia mengungkapkan istilah alay meliputi orang-orang seperti Ophi yang berpikir bahwa mencampurcampur huruf adalah sebuah tren untuk diikuti.
“Mungkin mereka melihatnya sebagai sesuatu yang salah atau kampungan. Tetapi bagi mereka yang menggunakan gaya penulisan tersebut adalah sesuatu yang keren. Mereka berpikir bahwa mereka bisa tampil lucu dan unik dengan melakukan hal tersebut,” paparnya.
Gaya penulisan seperti itu menandakan sebuah pencarian identitas, layaknya remaja pada umumnya. “Hal tersebut normal pada masa remaja mereka. Remaja- remaja ini ingin mengekspresikan diri mereka dengan berbagai macam cara.
Contohnya, dari cara mereka berbicara atau berpakaian, atau cara mereka mengikuti tren terkini seperti BlackBerry dan Facebook hingga memilih gaya menulis tertentu,” urainya.
Meski menuai beragam kontroversi, banyak orang tua yang tidak terlalu ambil pusing mengenai hal tersebut. Pujiningsih salah satunya.
Ibu dari tiga anak remaja itu mengaku bahwa gaya alay bukanlah sesuatu yang mengkhawatirkan. “Saya rasa bergaya alay hanyalah sebatas keinginan anak untuk mengeksplorasi segala hal dengan cara pandang yang hanya dimengerti oleh mereka.
Bukan berupa tindakan yang dapat merusak diri ataupun mengganggu sekolah. Setelah dewasa mereka pun bisa melupakannya,” ungkapnya.
Entri Populer
-
Pernah nonton Mr Bean? Anda hampir mau mati karena tidak bisa menahan tawa ? Kenal sosok disamping ini ? Yupz dialah Rowan Atkinson sosok...
-
P ertanyaan yang terkadang menggelitik kita adalah mengapa Kaum Kristiani selalu mendukung setiap gerakan Yahudi (Zionis) di Dunia Isl...
-
S ebagai kota megapolitan 'ditumbuhi' gedung-gedung pencakar langit. Data dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ada sekitar 700 ged...
-
Senin, 15 Maret 2010 Sungai di bawah laut yang berada di Gua Cenote Angelita menyimpan sejumlah pertanyaan besar. Dan ternyata, sunga...
-
Sepintas, masalah ini memang hal yang sepele. Yang penting kan pesen-nya nyampe kepada ummat, kalo Palestina sedang dicengkram zionis. Tap...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar